Seirei Gensouki : Spirit Chronicle Volume 2 - Chapter 4 : Encounter


Dua minggu berlalu semenjak mereka diserang oleh sekumpulan setengah naga.
“Onii-chan, hari ini sarapan apa?” Latifa bertanya tentang menu pada suatu pagi, bermain sendiri di ruang sempit tempat berlindung ketika Rio berbaring di sebelahnya.
“Kamu ingin makan apa, Latifa.” Tanya Rio, dengan senyum kecil dan gelisah.
“Aku ingin makan Risotto! Ditambah keju!” Dia memberitahunya dengan ceria. Seperti namanya, itu adalah makanan Italy, Risotto, yang ada di Bumi.
“Risotto ... yang dibuat dari gandum dalam kaldu, ‘kan?”
“Iya, itu benar!”
Rio sadar apa arti kata risotto, tetapi dia bereaksi seolah itu istilah yang tidak terlalu dia kenal. Ini karena dia belum memberi tahu Latifa bahwa dia memiliki kenangan tentang kehidupan sebelumnya di Bumi. Latifa berada di situasi yang sama dengannya, tetapi dia pasti akan menyebutkan makanan yang mirip dengan yang ada di Bumi begitu melihatnya. Keterikatannya dengan Rio mungkin telah menurunkan kewaspadaannya untuk melakukan itu.
Rio sudah curiga bahwa Latifa adalah orang Jepang di kehidupan sebelumnya, tetapi dia tidak mendorong topik itu, karena dia tidak ingin membuat drama yang tidak perlu untuk dirinya sendiri.
“Baiklah. Kalau begitu aku akan membuatnya segera. Kamu boleh tidur lebih lama, Latifa,” kata Rio, mengambil posisi duduk.
“Tidak, aku ingin melihatmu masak, Onii-chan.” Latifa mengangkat mulutnya dengan senyum riang sambil menggelengkan kepalanya.
“Tapi, hanya menonton saja pasti membosankan.”
“Aku sudah senang hanya bersama dengan Onii-chan, lho?”
“Sungguh? Kalau begitu ayo pergi.” Dengan senyum tegang, Rio meninggalkan tenda.
Saat ini, Rio dan Latifa berada di daerah berbukit di dekat pusat hutan belantara. Mereka mendirikan tenda di atas bukit tadi malam, memberikan mereka pemandangan indah daerah sekitar sana. Jika mereka melihat ke Timur, padang rumput yang membentang sampai ke cakrawala memenuhi visi mereka.
Ketika Rio mulai memasak risotto, dia menatap tepat di luar cakrawala itu.
“Hei, Latifa. Apa kamu bisa melihat pohon besar yang ada di sana?” tanyanya pada Latifa, yang duduk tepat di sebelahnya.
“Hm? Yang kamu sebut kemarin? Aku hanya bisa melihat padang rumput ... kenapa?” Latifa memperhatikan Rio yag sedang memasak dengan ceria, sambil tetap memperhatikan sekelilingnya. Atas permintaan Rio, dia memiringkan kepalanya dengan rasa ingin tahu.
“Jika kamu tidak bisa melihatnya tidak apa-apa. Tidak usah khawatir.” Rio menggelengkan kepalanya dengan senyum menghindar. Dia melirik sekali lagi ke arah Timur, di mana sebuah pohon besar berdiri di sepanjang cakrawala, dengan jelas.
Dia pertama kali melihat pohon itu kemarin.
Mereka berjalan ke arah Timur lalu melihat sesuatu yang berfluktuasi di udara jauh. Karena curiga, Rio menajamkan penglihatannya untuk memvisualisasikan esensi dan udara di sana, mengungkapkan pohon raksasa yang menembus langit.
Jadi itu pasti semacam halangan yang hanya bisa dilihat menggunakan sihir. Dapat dideteksi jika memvisualisasikan esensi, tetapi tampaknya tidak terlihat oleh orang lain.
Rio menduga itulah sebabnya dia bisa melihat pohon itu, sementara Latifa tidak bisa.
Masalahnya adalah ... siapa yang menggunakan sihir itu? Sangat mungkin jika setengah manusia yang menggunakannya. Menurut buku yang aku baca di perpustakaan akademi, mereka sangat berbelas kasih terhadap jenis mereka sendiri ....
Rio mengingat lektur yang ia baca selama hari-harinya di akademi. Suatu tempat di hutan belantara, setengah manusia—Elf, Dwarf, dan Werebeast—hidup berdampingan. Mereka memiliki rasa kekeluargaan yang kuat untuk jenis mereka sendiri. Di sisi lain, mereka memiliki kebencian mendalam terhadap manusia yang menindas setengah manusia dan memilih untuk tinggal jauh di dalam hutan belantara, mengasingkan diri.
Rio melirik Latifa. Latifa menyadari tatapan Rio lalu berbicara.
“Hm? Ada apa, Onii-chan?”
“ ... Bukan apa-apa. Sebentar lagi matang. Kamu mau jamur?”
“Iya! Tapi tidak usah pakai rumput.”
“Aku tahu,” Rio mengangguk sambil tersenyum.
Bukan karena Latifa tidak bisa makan rumput liar, hanya saja mereka cukup pahit untuk merusak rasanya jika ditambahkan ke Risotto. Terus seperti itu, Rio terus mencari tahu kesukaan Latifa dalam selera dan memanjakannya.
Bagaimanapun, kita harus pergi ke hutan itu dulu lalu mengecek apa yang terjadi.
Mungkin, dalam waktu dekat, saatnya akan tiba di mana ia harus berpisah dengan Latifa. Pada akhirnya, itulah yang terbaik untuk masa depan Latifa, karena ia akan lebih bahagia hidup dengan jenisnya sendiri—setidaknya, itulah yang dikatakan Rio pada dirinya sendiri. Sementara dia menyimpan beberapa keberatan tentang hal itu jauh di dalam dadanya, pada akhirnya itulah yang dia putuskan.
“Baiklah, sudah selesai. Kita akan banyak bergerak hari ini, jadi pastikan kamu makan yang cukup.”
Hari itu, mereka meninggalkan daerah perbukitan dan mencapai hutan besar.
Pohon itu jauh di dalam hutan ini. Aku tidak yakin apakah bisa menemukannya, tapi kami hanya bisa mencobanya. Berdiri di pintu masuk—walaupun mereka dapat masuk dari sisi mana pun—Rio melihat ke pepohonan di sekitarnya dan memutuskan untuk bergerak maju. Di sebelahnya, Latifa menonton dengan gugup.
“Onii-chan, apa kita benar-benar akan masuk ke sana? Tidakkah kita akan tersesat?”
“Tidak apa-apa—aku tahu jalannya. Kita akan bermalam di sini dan akan masuk ke hutan besok pagi,” jawab Rio dengan bayangan samar senyumnya.
Tampaknya itu sudah cukup untuk meyakinkan Latifa, yang langsung mengangguk dengan yakin, “Baik!”
Pagi berikutnya, mereka berdua melangkah ke dalam hutan besar. Tempat masuk mereka ke dalam hutan sudah tertinggal cukup jauh di belakang setelah beberapa menit berjalan.
Flora yang tumbuh terlalu lebat membuat segalanya gelap bahkan di tengah hari, saat sinar matahari disaring oleh kanopi pohon di atas. Tanahnya tidak rata, membuatnya sulit untuk dilalui dan sulit untuk maju dalam garis lurus. Rio dan Latifa menggunakan kemampuan fisik alami mereka untuk melanjutkan sepanjang rute tanpa jalur dengan mudah.
Hanya ada tanaman dan pepohonan sejauh mata memandang—pemandangan serupa bisa dilihat tidak peduli ke arah mana mereka berbalik. Biasanya, seseorang akan segera kehilangan arah dan berjuang untuk menemukan jalan keluar, tetapi Rio tidak ragu sama sekali. Sesekali, dia akan memanjat ke puncak pohon yang tinggi dan memeriksa kembali arah mereka, menyesuaikannya saat mereka pergi. Melihat sosok Rio yang dapat diandalkan seperti itu membuat semua kecemasan Latifa menghilang.
Tetap saja, mereka menemukan beberapa binatang buas di jalan.
Contohnya, sekawanan serigala yang cerdas dan gigih serta binatang seperti harimau sepanjang empat meter dengan taring setajam pisau muncul, tetapi kedua pelancong itu  mampu mengusir mereka dengan kekuatan Rio. Setelah melakukan perjelanan sepanjang hari, hari pertama eksplorasi hutan mereka berakhir tanpa hasil.
Peristiwa itu terjadi pada hari kedua mereka tinggal di hutan.
“Onii-chan ... benar-benar samar, tapi aku dapat mencium aroma yang asing di sekitar sini. Cukup banyak.”
Di hutan yang gelap, malam tiba dengan cepat. Sudah hampir waktunya bagi mereka untuk mencari tempat berkemah ketika Latifa memberi tahu Rio, mengernyitkan hidung saat melakukannya.
“ ... Dan itu bukan yang kamu cium sampai sekarang?”
“Iya! Aku mengingat semua aroma binatang yang kita temui sejak memasuki hutan. Yang ini tidak sekuat yang lain, jadi mungkin itu bukan hewan buas? Tapi itu mungkin karena memang aromanya lemah ...? Aku penasaran ...,” Latifa memiringkan kepalanya dengan bingung.
“Lalu pemilik aromanya tidak ada di dekat sini, ‘kan?”
“Mungkin. Iya, aku pikir begitu.”
“Kalau begitu kita aka istirahat di sini malam ini. Lagipula, kita hampir sampai di tujuan.”
“Sungguh? Akhirnya kita meninggalkan hutan!” Latifa menyeringai bahagia, sedangkan Rio tersenyum dengan ekspresi yang sedikit bermasalah.
Malam itu, mereka masuk ke dalam tenda sempit seperti biasanya, berbaring berdampingan.
“Onii-chan, bolehkah aku memegang tanganmu?”
“Tentu,” jawab Rio, memberikan tangannya dengan senyum tegang di wajahnya.
Begitu tangan mereka terhubung, Latifa bisa mendapatkan tidur malam yang tenang. Ketika dia tidak melakukannya, Latifa kadang-kadang mulai menangis di tengah malam.
“Ehehe. Selamat malam, Onii-chan.” Kata Latifa, lalu tertidur tak lama kemudian.
Setelah dia yakin dia tertidur, Rio menutup matanya juga. Saat dia perlahan-lahan menyelinap ke tanah tidur, dia merentangkan sebagian kesadarannya di sekitar mereka sehingga dia bisa bereaksi terhadap segala kelainan di sekitarnya.
Lalu, beberapa jam kemudian ....
Mata Rio tersentak terbuka.
Dia melihat ke sisinya lalu menemukan Latifa yang sedang tertidur lelap. Dengan lembut menjauhkan tangannya darinya, dia melepas pintu darurat ke pintu masuk tenda mereka dan pergi keluar. Ada perasaan aneh dan gelisah di dadanya karena suatu alasan, tetapi hutan itu gelap gulita dan tidak ada tanda-tanda makhluk hidup lain di sekitarnya. Lingkungan mereka sangat sunyi.
Tiba-tiba, angin dingin bertiup ke kulitnya; hari ini lebih dingin dari biasanya. Dia memulai api unggun di dekat pintu masuk tenda agar Latifa tidak masuk angin.
“Onii-chan ...?” Suara gugup Latifa dapat terdengar dari dalam tenda.
“Aku di sini. Tidur saja.”
Rio membelai kepala Latifa dan berbicara dengan lembut padanya. Untuk memberinya istirahat yang tenang tanpa menangis di malam hari, ia memanipulasi esensinya untuk meniru sihir tidur.
Dengan helaan nafas yang lelah, Rio memandang ke langit. Dia tidak bisa melihat sejauh itu, bahkan dengan api unggun dan penglihatannya yang disesuaikan dengan malam, tetapi dia bisa memata-matai langit yang penuh bintang melalui celah pepohonan.
Dengan kantuknya yang sepenuhnya memudar, Rio menghangatkan dirinya di dekat api unggun dan merebus air untuk diminum. Api menyala, menyinari wajahnya. Saat dia mendorong bara yang sekarat dengan tongkat, angin lembut menyapu tubuhnya dengan lembut.
Hm? Rio berbalik ke arah angin bertiup.
Di sana berdiri seekor serigala perak; besar—memiliki panjang beberapa meter dari kepala hingga ekor.
Sejak kapan mereka mendekat?!
Rio menggertakkan giginya, lalu melompat berdiri, menghunuskan pedang dari sarungnya. Serigala perak di depannya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda keganasan yang diharapkan dari seekor binatang; kehadirannya sangat lemah. Terlepas dari bentuk serigalanya, ada sesuatu yang tidak wajar tentangnya—hampir seperti makhluk itu sendiri tidak ada.
Rio memusatkan perhatiannya pada serigala perak tersebut, tidak ingin melepaskan pandangannya. Rasanya seperti jika dia melepaskannya sejenak, serigala itu akan menghilang tanpa sisa.
Tiba-tiba, serigala perak mulai bersinar; semburan cahaya menyebar ke sekelilingnya. Warna putih memennuhi bidang penglihatan Rio, membuatnya menutup mata tanpa sadar.
Sial ... penglihatanku—tepai saat pikiran itu melintas dalam benaknya, Rio merasakan kehadiran muncul di sekitarnya, satu demi satu.
Mereka bersembunyi! Apa mereka setengah manusia?! Bagaimana mereka bisa tahu kami ada di sini?
Meskipun terkejut, Rio dengan tenang menganalisis situasinya saat ini. Tetapi bahkan ketika dia melakukan itu, kelompok setengah manusia terus mendekati.
Waktu habis—dia tidak punya waktu lagi untuk berpikir.
Rio dengan ringan menginjak tanah, membanjiri esensi ke tanah di sekitarnya. Muncul tanah di sekitar tenda, membentuk tembok di sekeliling tempat Latifa tertidur. Rio mungkin bisa mengatakan bahwa para penyerang sedikit kebingungan dengan cara mereka memahami respon tersebut, tetapi mereka tidak cukup naif untuk membiarkan penjagaan mereka hilang begitu saja.
Penglihatan Rio belum kembali, namun Rio dapat dengan tahu dengan pasti jika Mereka mengelilinginya. Dia merasakan bahwa salah satu dari mereka dengan cepat mendekatinya, yang mendorongnya untuk menghindar dengan melompat ke samping. Segera setelah Rio membuktikan jika ia dapat menghindar serangan mendadak bahkan saat dibutakan, udara di sekitar para penyerang meningkat sekaligus.
Rio semakin meningkatkan pertahanannya.
Dia mungkin berhasil menghindari serangan pertama, tetapi visinya masih kabur dan dia juga belum mengukur kekuatan lawan—siapa pun bisa tahu jika posisinya cukup buruk. Satu-satunya rahmat penyelamatnya adalah fakta bahwa mereka bertujuan untuk menangkapnya hidup-hidup ... mungkin. Lagi pula, ada banyak cara lain yang bisa mereka lakukan untuk mendekatinya jika mereka bermaksud membunuh.
Yang berarti negosiasi bisa dilakukan.
Dengan pikiran itu, Rio berbicara—tetapi kehadiran pertama yang menyerangnya mendecakkan lidah, tidak sabar lalu melancarkan serangan kedua.
“Hei, tunggu sebentar!” Teriak Rio dengan tergesa-gesa, tetapi musuhnya tidak menunjukkan tada-tanda berhenti. Tidak punya pilihan lain, Rio bersiap mengaktifkan kemampuan abnormal peniru sihir lain, menjaga intensitas situasi tetap terkendali.
Itu bukan teknik serangan: Itu adalah tiruan sihir Zona Revelare yang memungkinkannya untuk menuangkan esensinya ke sekelilingnya dan mendeteksi esensi yang bereaksi, seperti sonar. Tujuan sejatinya adalah menggunakannya sebagai pengganti sementara untuk penglihatannya yang hilang. Dia dapat mendeteksi angka dan posisi lawannya.
“Uzuma, mundur! Orang itu menggunakan sesuatu semacam Seni Roh!”

{ Tl Note : Spirit Art Sekarang ane ubah jadi Seni Roh aja. Di Volume 1 ane tetep nyebutnya Spirit Art soalnya, jadi takut rada bingung atau keliru makannya ane sebutkan di sini }
Seorang gadis yang berdiri di tepi lingkaran yang mengelilingi Rio—yang tampak seusia dengannya, rambut pirang-perak panjang dan telinga serigala mencuat dari kepalanya—berteriak dengan bahasa yang tidak Rio ketahui. Menanggapi suara gadis pertama, gadis bernama Uzuma—yang tampaknya berusia pertengahan dua puluhan dan tumbuh sayap burung yang indah di punggungnya—membeku dalam pendekatannya.
“Tidak apa-apa ... itu hanya Seni Roh untuk mendeteksi Ode terdekat!” Gadis lain dalam lingkaran—juga seusia dengan Rio, rambut emas zamrud yang sangat panjang dan agak bulat menghiasi kepalanya—segera  menimpali.
“Dia seharusnya masih belum bisa melihat, tetapi lebih baik kalau kita menganggap dia sudah tahu jumlah dan posisi kita. Ya ampun ...,”  seorang gadis pendek berdiri di sebelah Elf bergumam sambil mendesah. Dia tampak sedikit lebih mudah dari Rio, rambut merah pendek yang berapi-api serta telinga Dwarf yang bentuknya sama dengan milik gadis lain.
Aku tidak tahu apa yang mereka katakan, tapi suasananya sedikit berubah. Ini kesempatanku.
Setelah membuat penilaian itu, Rio mengambil kesempatan untuk memulai percakapan dengan tujuan membeli waktu.
“Kumohon, tunggu! Apa kalian setengah manusia? Jika benar, aku ingin berbicara dengan kalian.”
Semua orang yang hadir mengerutkan kening sebagai reaksi terhadap kata "setengah manusia."
“Lady Sara, manusia adalah penjarah keji. Dia mungkin terlihat seperti anak kecil, tetapi dia memiliki keterampilan untuk masuk sejauh ini ke wilayah kita. Dia pasti berbahaya,” saran Azuma dengan tegas, memandang ke arah gadis serigala perak bernama Sara.
“ ... Aku tahu. Namun, kita perlu tahu apa tujuannya,” ucap Sara, mengerutkan alisnya dengan gelisah.
“Kalau begitu, kita harus berasumsi jika dia yang terburuk lalu segera menahannya. Dia bisa menceritakannya setelah itu. Lagipula, kita sudah memiliki alasan jika dia menculik salah satu dari kita,” tegas Uzuma.
“ ... Orphia, apa ada reaksi esensi selain kita di daerah ini?” setelah mempertimbangkan perkataan Azuma, Sara menatap gadis Elf bernama Orphia.
“Iya, satu di dalam dinding tanah itu. Tidak bergerak, jadi mungkin saja itu artifak sihir.”
“Tetapi jika dia memang salah satu dari kita, ada kemungkinan dia dijadikan sandera,” kata Uzuma dengan dingin sebagai tanggapan atas kata-kata Orphia. Sara dan yang lainnya meringis pelan, meningkatkan ketegangan situasi.

Sementara itu ....
Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, sepertinya kami tidak bisa berkomunikasi. Apa aku harus mengatakan tentang Latifa segera? Tidak ... itu akan menjadi masalah jika ada spesiesisme antara setengah manusia. Lebih buruk lagi, mereka bisa mengubah tempat ini menjadi medan perang. Aku harus menunggu penglihatanku pulih lebih dulu ....
Latifa terlahir di antara manusia dan Werebeast, jadi ada kemungkinan dia akan didiskriminasi dan dia bisa diperlakukan sebagai musuh oleh setengah manusia lain karena menjadi orang yang cacat juga.
Dengan Rio yang tidak dalam kondisi terbaik, ia tidak punya pilihan selain pergi dengan rencana yang lebih aman. Dengan demikian, visinya berangsur-angsur pulih dan dia bisa melihat jauh lebih jelas daripada sebelumnya.
Selama waktu itu, Sara dan yang lainnya menyelesaikan pembicaraan mereka.
“Kalau begitu sebagai perwakilan kita, aku akan mendekati dan mengalihkan perhatiannya dengan percakapan. Orphia, bisakah kamu meminta Ariel untuk memeriksa dalam dinding tanah? Alma akan mendukungmu. Jika salah satu dari kita ada di dalamnya, kita harus menyelematkannya, apa pun yang terjadi.”
“Aku mengerti, Sara!”
“Mengerti, Nona Sara.”
Gadis Elf bernama Orphia dan Dwarf bernama Alma masing-masing mengangguk atas perintah Sara.
“Azuma, kamu bersiap jika bocah itu menyadarinya.”
“Dimengerti,” Uzuma mengakui perintah Sara dengan penuh semangat.
Setelah mereka menyusun rencana aksi sederhana, Sara dengan hati-hati mendekati Rio.
“ ... Aku menerima permintaanmu untuk berbicara. Tapi, aku mohon agar kamu tidak menyebut kami dengan cibiran ‘Setengah manusia’,” kata Sara dengan nada sedikit beraksen, menggunakan bahasa umum di wilayah Strahl.
“Terima kasih banyak karena telah menerima permintaanku. Sehubung dengan penggunaan nama tersebut, aku dengan tulus meminta maaf atas kekasaran yang aku lakukan. Namun, tidak ada kata dalam bahasa Strahl yang dapat digunakan untuk pengganti istilah umum untuk orang-orangmu ... aku bisa memanggil kalian secara terpisah sebagai Elf, Dwarf, dan Werebeast. Jadi, jika tidak merepotkan, bisakah kamu memberi tahuku tentang sebutan semua orang di sini?”
Rio mengucapkan kata-kata terima kasih dan permintaan maaf dengan nada hormat, termasuk pertanyaan untuk mengumpulkan lebih banyak informasi juga.
“ ... Aku adalah manusia serigala perak dan grup kami di sini terdiri dari beberapa spesies, termasuk Elf dan Dwarf. Ketika menyebut kami sebagai kelompok, tolong panggil kami Seirei no Tami,” jelas Sara.
“Begitu, ya. Terima kasih telah menjelaskannya kepadaku.”
Mendengar mereka terdiri dari banyak spesies membuat Rio tertawa sendiri. Itu menurunkan kemungkinan spesiesisme di antara setengah manusia. Yang tersisa untuk dia khawatirkan adalah darah manusia yang mengalir melalui Latifa.
“Sara, ada anak Werebeast di sini! Dia dibuat tidur menggunakan Seni Roh!”  Elf bernama Orphia berteriak keras, sekali lagi menggunakan bahasa yang tidak dimengerti Rio.
Uzuma yang berada di sebelah Rio sudah siap untuk melompat dan menahannya saat itu juga, dipenuhi amarah. Dia menerjang Rio dari samping dan mengarahkan tinjunya ke perut Rio tanpa menahan diri. Karena tidak menyangka percakapannya akan diganggu oleh serangan, reaksi Rio tertunda. Dia menghindari pukulan itu dengan melompat ke belakang, tetapi tidak dapat sepenuhnya menahannya. Dia melayang di sana setelah tertiup beberapa meter ke udara, lalu mendarat di tanah dan berguling.
“Uzuma, aku belum memerintahkanmu apa pun! Kamu sudah keterlaluan! Perintahku adalah menahannya! Apa kamu mencoba membunuhnya?!” Sara memarahi Uzuma karena bertindak gegabah.
“Kekuatan sejatinya tidak diketahui dan dia meningkatkan fisik tubuhnya menggunakan Seni Roh. Karena itu aku mengambil rute teraman. Aku mungkin telah membuatnya pingsan, tetapi itu tidak mengancam nyaw—“
“Hati-hati, dia menggunakan semacam Seni Roh!” Alma—yang merupakan kelompok Dwarf—berteriak di tengah penjelasan Uzuma.
“Apa?!” Uzuma bereaksi dengan cepat, melihat ke arah Rio. Kaki Rio gemetar dengan tangannya yang memegang bekas tinju. Keringat mengalir di dahinya.
“Itu Seni Roh penyembuhan.”
“Cih, aku akan mengalahkannya!”
Begitu Orphia secara akurat menebak seni roh yang digunakan Rio, Uzuma bergegas ke Rio sekali lagi. Di tangannya, dia memegang tombak pendek.
“Hei, tunggu sebentar! Apa maksudnya ini?! Kuh!” Teriak Rio saat dia menghunus pedangnya dan menghentikan serangan Uzuma. Rasa sakit yang tajam menembus perutnya, membuat wajahnya memuntir.
“Aku minta maaf karena menyerang secara tiba-tiba. Namun, kami telah mengkonfirmasi bahwa salah satu dari jenis kami ada di dalam dinding tanah itu. Karena kami mencurigaimu menculik salah satu dari kami, aku sekarang akan menahanmu untuk keperluan interogasi. Mohon jangan melawan!” Sara menjelaskan dengan ekspresi pahit, hampir seolah-olah ini bukan niatnya yang sebenarnya.
“Ini salah paham! Anak itu dibawah perawata—“
“Tidak akan ada yang percaya dengan ucapan manusia, apalagi dari seorang penculik. Menyerahlah!”
Bahkan saat Sara dan Rio berbicara, Uzuma tidak menyerah pada serangannya. Dia terus mengayunkan tombaknya. Di sisi lain, setelah menderita cukup banyak kerusakan di perutnya dan masih belum menyembuhkan penglihatan sepenuhnya, gerakan Rio menjadi agak lamban. Itu adalah situasi terburuk yang mungkin terjadi.
“Aku tidak menculiknya ... dengarkan apa yang ingin aku katakan! ... A-apa?!”
Setelah berhadapan dengan serangan Uzuma, kaki Rio terperangkap oleh sesuatu yang membuatnya terhenti total. Ketika dia melihat ke bawah, dia bisa melihat bentuk tanah yang samar-samar mencuat dari tanah, secara tidak wajar menahan kakinya.
“Cih, aku tidak memerlukan bantuanmu.”
Uzuma menggumamkan sesuatu, melirik ke salah satu Seirei no Tami di belakangnya dengan tidak senang. Wanita Dwarf yang lebih tua itu berlutut dengan tangan menempel di tanah. Uzuma memutar tombak di tangannya sebelum meluncurkan satu pukulan ke Rio dengan sekuat tenaga. Rio menerima serangan langsung.
Sungguh kekuatan yang konyol! Dampaknya lebih kuat dari apa pun yang pernah dia rasakan sampai sekarang, mengirimkan pedang dalam cengkeramannya terbang menjauh.
“Gah ...!” Rio merasakan rasa sakit yang tajam menjalar ke seluruh tubuhnya. Uzuma meletakkan tangannya di tubuhnya dan melepaskan arus listrik bertegangan tinggi. Dengan tubuhnya lumpuh, penglihatan Rio segera menjadi gelap ketika ia jatuh ke tanah. Hal terakhir yang dilihatnya adalah sosok panik Orphia berlari ke arahnya dan tatapan tajam Seirei no Tami yang memandang rendah dirinya.

Post a Comment