KouSuki Jilid 1 - Bab 4 Bagian 3

ーーーーーーーーーーーーーーーーー
・Penerjemah: IsekaiShumi
・Editor: IsekaiShumi
・Dukung IsekaiShumi: Trakteer

ーーーーーーーーーーーーーーーーー

❈ Bab 4 Bagian 3: Efek Jembatan Gantung 

Ahh, langit hari ini cerah ....
Pikir Mikado pada dirinya sendiri, saat dia mencoba kabur dari kenyataan. Sejujurnya, terdampar di pulau terpencil bersama orang yang kamu sukai, tinggal waktu saja sampai alasannya tidak akan bertahan.
“H-hei ... Kitamikado-san. Kapan aku harus menarik keranjangnya ...?”
Tetapi saat perempuan di dekatnya bertanya dengan tak yakin, Mikado melihat ke arahnya lagi. Mungkin karena terlalu fokus, Kisa tidak menyadari jika rok miliknya menjadi sedikit basah.
“Beri mereka waktu untuk bergerak bersama sebagai kelompok dan bidik mereka saat penjagaan mereka lengah, yaitu saat mereka mulai berenang.”
“ ... Aku mengerti, jadi kamu membidik saat penjagaan mereka lemah ... Ketika penjagaan mereka lemah ....”
Rok Kisa, saat dia sibuk berbisik sendirian, perlahhan tapi pasti semakin ke atas, memperlihatkan pahanya lebih jauh. Dia memang menurunkan penjagaan dari ikan yang dia incar.
Jika bukan aku, seseorang pasti sudah mengincarmu sekarang!
Mikado ingin berteriak di atas paru-parunya, tetapi dia pasti akan diejek karena pelecehan seksual.
“Eii!!”
Mengatur waktu dengan teriakan, Kisa segera mengangkat keranjang dengan kekuatan penuh. Diikuti oleh percikan air, dan tidak ada akan di sana! Sebaliknya, ikan itu dengan cepat berenang melewati kaki putihnya, melarikan dari tempatnya semula.
“Eh?! Aneh ....”
Kisa menantang mereka lagi.
“Lagi?!”
“Tidak mungkin! Mustahil!”
“Kenapa?! Padahal Kitamikado-san bisa melakukannya?!”
“ ... Dunia ... menolaknya ...!”
Dia mengulanginya lagi dan lagi, tetapi ikan selalu terlalu cepat untuk Kisa. Meskipun otaknya memungkinkannya berdiri di puncak dunia, kemampuan atletiknya jauh dari hilang. Mikado tidak bisa tetap diam dan memanggil Kisa.
“Nanjou ... haruskah kita berganti?”
“Tidak! Aku akan semakin frustrasi jika tidak bisa melakukannya!”
Mendorong dirinya dengan mata berkaca-kaca, memberikan gambaran kesan Kisa yang biasanya. Kalah melawan seseorang dari keluarga Kitamikado pasti sangat melukai harga diri sebagai penerus keluarga Nanjou. Namun saat matahari mencapai puncaknya ... Kisa masih tidak berhasil dalam perangnya dan dia sekarang berbaring menghadap ke tembok, napasnya terdengar tak beraturan. Di sebelahnya Mikado dengan jumlah ikan yang banyak tergeletak di keranjang.
“A-aku tidak menyangka sesulit ini ... menyedihkan sekali ... jika saja aku punya lebih banyak tenaga, aku pasti bisa menangkap seratus kali lebih banyak daripada yang Kitamikado-san dapat ....”
“Apa itu? Apa itu lolongan dari sang pencundang yang aku dengar sekarang ...?”
Mikado sedikit muak. Kemudian, seperti inilah Kisa.
“Tetapi, kamu memang mempunyai kemampuan bertahan hidup yang luar biasa, Kitamikado-san. Bukankah kamu bisa bertahan hidup sendiri di pulau ini?”
“Yah, aku rasa bisa,” gumam Mikado, menerima tatapan jujur dari Kisa.
“Hei ... jika sampai seperti itu ... apa kita tinggal di sini saja ...?”
Kisa mengangkat bagian atas tubuhnya dan menatap Mikado. Kata-katanya menularkan perasaan kejujuran dan keseriusan tertentu.
“Eh ...?”
“Apa ... jika, kamu tahu? Jika kita tinggal di sini ... kita tidak akan berhubungan dengan keluarga Nanjou dan Kitamikado lagi ... dan tanpa permainan cinta ... hanya ... selamanya, seperti ini ....”
Bersama selamanya. Mungkin itulah yang Kisa maksud, pikir Mikado. Mungkin itu hanyalah interpretasi Mikado saja, kepercayaan dirinya meningkat kembali. Tetapi ... Kisa benar, hanya tinggal di sini berdua berarti tidak ada alasan bagi mereka untuk menahan diri atau memikirkan batasan dan persaingan keluarga mereka.
“Apa kamu ... baik-baik saja tinggal di pulau ini selamanya?”
“Mungkin ... bukan ... ide yang buruk ....”
Tubuh Kisa tumbang. Dia jatuh ke batu di dekatnya, mengangkat satu tangan. Caranya runtuh tidak normal. Seperti semua tenaga meninggalkan tubuhnya.
“Hei ... kamu baik-baik saja??”
“A-aku ... baik-baik saja ... tubuhku hanya sedikit panas ... dan dingin ....”
Wajahnya memerah, saat tubuhnya yang langsing gemetar. Ada yang salah, Mikado mendapat firasat buruk dan dengan hati-hati meletakkan telapak tangannya ke dahi Kisa.
Panas. Sangat panas.
“Kamu sakit ... sejak kapan?”
“Sehari sebelum kemarin ... tapi ... aku baik-baik saja ...,” suara lemah keluar dari mulut Kisa.
Tentu dia tidak terlihat baik-baik saja. Kehidupan bertahan hidup di alam bebas bagi seorang perempuan yang terbiasa dengan kehidupan sekolah Jepang yang normal terlalu besar, Mikado seharusnya bisa menebaknya. Tertidur, makan, dan berpindah dalam situasi ini dan lingkungan ini pasti sulit untuk Kisa.
“ ... Tinggal di sini juga tidak bagus, ya?”
Mikado berjongkok dan mengarahkan punggungnya di hdapan Kisa. Dia harus membawanya ke doktor secepat mungkin.
“Eh, apa ...?” Kisa bingung.
“Kamu mungkin tidak akan bisa berjalan lagi, ‘kan? Aku akan menggendongmu.”
“ ... Ini tidak akan berbuah menjadi hutang, ‘kan?” tanya Kisa, cemas.
“Tentu saja tidak akan. Setelah semua itu terjadi.”
Mikado membalasnya denyan senyuman lembut, lalu Kisa perlahahan mengangkat tubuhnya dan dengan hati-hati mendorong dirinya ke punggung Mikado. Merasakan dua tonjolan lembut di punggungnya, Mikado merasa wajahnya memanas. Kelembutan kulitnya, sensasi dingin yang menyejukkan di kakinya, setiap indera tengah diserang oleh kehadiran Kisa. Berusaha memadamkan keinginan di dalam dirinya, Mikado memperbaiki posisi Kisa di punggungnya.
“Pertama kita harus mencari kayu dan memanggang ikan-ikan ini. Saat kamu sedang sakit, makan adalah hal terbaik yang bisa kamu lakukan.”
“Kitamikado-san ... kamu sepertinya diajarkan untuk menjadi ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga berusia tiga puluhan?”
“Tinggalkan aku sendiri.”
Mendesak kembali pada candaan Kisa, Mikado berjalan di sepanjang aliran sungai.

*****
Tubuh Kisa begitu ringan, membuat Mikado mulai mengkhawatirkannya lebih jauh, tetapi menggendong seseorang di punggungnya dalam waktu yang lama pasti akan melelahkan. Lgaipula, pulau ini memiliki topografi yang sangat aneh, dengan banyak bukit untuk didaki dan lembah untuk ke bawah memberikan pekerjaan besar terutama pada kedua kakinya. Lalu, malam sangat dingin, sedangkan siang hari sangatlah panas. Meskipun dia sudah terlatih untuk keadaan seperti ini, bahkan kaki penerus keluarga Kitamikado akan menangis sedih. Kurangnya nutrisi dan tidur adalah penyebab lainnya. Namun, berhenti di sini bukanlah pilihan.
Dalam dua hari, hari pertunangan tiba. Dan bukan itu saja, menilai kondisi Kisa yang semakin memburuk, Mikado sadar jika dia harus membawanya ke doktor secepat yang dia bisa.
“Kitamikado-san ... kamu baik-baik saja ...? Kamu terlihat kelehahan ...,” ucap Kisa serak lemah, masih di punggungnya.
Tubuhnya memanas. Berjalan di gunung yang dipenuhi daun, Mikado tertawa.
“Kamu khawatir pada orang yang salah. Sudah tidur saja.”
“Tapi ....”
Mikado merasakan dadanya mengencang, melihat betapa lemahnya Kisa yang biasanya sombong.
“Aku sudah dilatih bekerja di bawah suhur empat puluh derajat, jadi sesuatu seperti tidak akan—”
Sebelum dia bisa menyelesikan kalimatnya, dia tergelincir, tidak memiliki injakan yang cukup untuk bertahan. Tubuh mereka hendak jatuh. Jeritan Kisa terdengar, saat Mikado segera meraih batang terdekat. Kulitnya tergesek hingga minimbulkan samar-sama bau terbakar. Rasa sakit yang luar biasa, serta tonjolan yang menusuk tangannya. Belum lagi, Mikado tidak melepaskannya, baik cabang yang ia raih maupun Kisa sendiri.
“Haaa ... haaa ....”
Jantungnya yang berdetak mulai merasakan sakit dan desahan panjang kabur melalui mulutnya. Untuk memastikan tubuh Kisa selalu aman, Mikado telah melakukan semua yang dia bisa, tetapi tubuhnya sendiri sudah mencapai batasnya. Dan Kisa, meskipun tidak terlalu terlihat, dia bisa menyadarinya.
“H-hei ... bagaimana kalau istirahat sebentar? Aku ingin sedikit istirahat juga ....”
“Y-ya ....”
Dipikat oleh Kisa, Mikado mengangguk. Meskipun dia tidak terlalu dengan kondisi tubuhnya, dia tidak ingin membuat Kisa menderita lebih dari yang diperlukan. Memperbaiki posisi mereka juga penting. Bergerak melalui pegunungan yang terbungkus kabut, mereka menemukan batu yang mencuat seperti atap dan beristirahat di sana. Setelah beberapa saat, hujan mulai turun dengan deras. Kisa berbaring, tidak memperdulikan tanah basah di bawahnya. Meskipun Mikado cemas panas tubuhnya akan meningkat karena itu, dia tidak bisa membawa cara lain. Baik penerus keluarga Kitamikado, yang ditakdirkan menjadi cahaya penuntun bagi Jepang, maupun penerus keluarga Nanjou yang dimaksudkan untuk memerintah Jepang dari nayang-bayang ... mereka hanyalah manusia biasa, yang akan melemah tergantung pada keadaan.
“Jika kamu terus membawaku ... kamu tidak akan tepat waktu untuk upacara pertunanganmu ...,” gumam Kisa.
“ ... Tidak, aku akan membuatnya tepat waktu. Aku masih belu serius sedikit pun.”
“Kamu bohong. Hanya melihatmu saja sudah jelas. Kamu semakin lelah dari sebelumnya. Langkahmu semakin pelan dan kamu tidak bisa mengeluarkan tenaga ....”
“ ....”
Mikado tidak menyangkal itu. Sejujurnya, dia kesulitan mempertahankan kesadarannya sekarang. Dia ingin beristiharahat entah di mana dengan kasur yang nyaman. Seluruh tubuhnya bergerak dengan keinginan itu.
“ ... Maafkan aku ... merepotkanmu seperti ini ... aku hanya ... tidak ingin melihatmu bertunangan, entah bagaimana pun ... jadi aku membawamu ke kekacauan ini ...,” gumam Kisa, mengalihkan pandangannya.
“Tidak usah dipikirkan. Aku tidak terlalu mempermasalahkannya,” Mikado mengangkat bahu.
“ ... Sungguh, tinggalkan aku saja. Kamu pasti akan tepat waktu.”
“Tidak, aku akan membawamu apapun yang terjadi. Aku tidak akan meninggalkanmu di gunung ini.”
Mengambil saputangan dari sakunya, Mikado mengeringkan rambut Kisa dan wajahnya dengan lembut, tanpa warna apapun menyisakan bibirnya yang sedikit biru. Kisa tidak menolaknya dan hanya berbicara dengan suara lemah.
“Kenapa ... kamu sampai sejauh ini? Aku selalu ... selalu menyebabkan masalah untukmu ... aku memaksamu untuk masuk ke dalam permaianan ini, jadi kenapa ...?”
“Itu ....”
Karena aku menyukaimu. Mikado tidak bisa mengungkapkan perasaan di dalam dirinya. Peraturan dalam permainan. Menyuarakan kasih sayang menyebabkan kekalahan. Yang kalah akan menjadi budak bagi yang menang, meninggalkan keluarganya. Jika mereka hanyalah remaja SMA biasa, mereka bisa saling mengakui, menerima jawaban sederhana, ya atau tidak, dan itu akan menjadi akhir. Tetapi tidak bagi mereka. Mengaku secara terbuka bahwa cinta seseorang tidak diizinkan.
“Katakan, Nanjou ... kenapa kamu sangat ingin menghentkanku dari pertunangan?”

Mikado hanya bisa membalikkan pertanyaan.
“Ummm ... lagipula, aku ...,” Kisa menutup mulutnya.
Mungkin karena dingin, tetapi tubuhnya bergetar semakin kuat. Hanya keheningan di antara mereka. Mereka saling menatap langsung ke mata, tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Mereka merasa ada sesuatu yang terjadi di antara mereka, tetapi mereka tidak tahu pasti apa itu. Mikado mengambil napas dalam-dalam lalu memeluk Kisa. Meskipun tubuh Kisa gemetar karena terkejut, dia segera memeluk Mikado juga, melingkarkan tangannya di punggung Mikado. Tubuhnya sangat kecil, sangat rapuh. Tetapi, semua hawa dingin yang mengganggu mereka dalam sekejab menghilang dan tubuh mereka dipenuhi kehangatan. Pada saat yang sama, Mikado sekali lagi menguatkan tekadnya untuk membuat gadis ini menjadi miliknya. Tidak peduli sesulit apapun karena kedudukan keluarga mereka, tidak peduli seberapa besar permainan cinta itu menyulitkan mereka, dia menginginkan kehidupan yang kecil dan sangat berharga ini, tepat di sebelahnya. Dia ingin berjalan di sisinya, dengan bebas, dengan senyuman.
“ ... Begitu kita mengatur napas, ayo kita pergi. Bersama.”
Mikado menggumamkan itu, masih memeluk erat Kisa, yang membalas dengan anggukan.

*****
Guntur bergemuruh, Setekah hujan deras, tanah padat di sekitar mereka menjadi bubur. Di dalam badai ini, di mana jarak pandangan lebih terbatas daripada di hutan saat malam hari, Mikado mengerahkan seluruh kekuatannya yang tersisa dan bergerak ke barat. Tenaga Kisa, yang masih beristirahat di punggungnya semakin melemah, kekuatan tangan yang menempel di pundak Mikado mulai berkurang. Untuk memastikan dia tidak akan jatuh, dia memeganginya erat-erat. Meski begitu, basah kuyup oleh hujan, kakinya yang licin membuatnya semakin sulit.
“Dingin ...,” gumam Kisa, dengan suara yang jauh.
Dia tidak memiliki tenaga lagi untuk bergerak dan hanya beristirahat di punggung Mikado, terdiam.
“Sedikit lagi. Sebntar lagi, kita akan sampai di kediaman, jadi semuanya akan baik-baik saja.”
Tidak ada yang tampak seperti tempat tinggal terlihat, tetapi Mikado ingin memberikan sedikit harapan pada perempuan itu. Dia tidak membalas. Kala itu napasnya semakin melemah. Perasaan dingin menyelimuti Mikado. Bukan karena hujan, bukan karena suhu, tetapi rasa takut. Rasa takut percikan terakhir kehidupan perempuan di punggungnya akan menghilang. Sebelum Mikado menyadarinya, dia memanggilnya menggunakan suara dada.
“Kisa!!”
“Fuah?!” tubuh Kisa bergetar.
“Jika kamu bangun, jawablah! Kita hampir sampai, jadi tetaplah terjaga!”
Mikado berteriak marah. Jika dia membiarkannya tidur sekarang, dia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi. Nalurinya menyuruhnya untuk tetap membangunkannya bagaimanapun caranya.
“H-hei ... kamu tadi memanggilku Kisa ...?!” suara Kisa sedikit panik.
“Berisik! Mana balasanmu?!”
“ ... Ya!” Kisa dengan panik menempel pada Mikado.
Samar-samar kekuatan kembali ke tubuhnya. Karena suatu alasan, api mulai membakar di dalam tubuh Mikado dan hujan deras ini terasa seperti mandi biasa. Dengan Kisa di punggungnya, dia mulai berlari. Barat, hanya barat. Membelah derasnya hujan, Mikado tidak memikirkan hal selain itu. Seolah-olah kekuatan tak terbatas mengalir di sekujur tubuh Mikado, kakinya tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah.
Siapa yang peduli jika Kisa sebagai penerus musuh bebuyutannya? Siapa yang peduli jika dia adalah musuhnya selama permainan cinta yang akan memutuskan masa depannya? Untuk orang yang dia cintai melebihi siapa pun, Mikado berlari. Otot-ototnya yang lelah kini belari dengan tekad murni. Dan akhirnya, aroma laut masuk ke dalam rongga hidungnya.
“Ini ....”
Apa yang terbentang di bidang penglihatannya adalah garis pantai, ombak besar, dermaga tua yang ditinggalkan, dan bangunan berwarna abu-abu anorganik. Daripada tempat tinggal pribadi ....
“Bukankah itu laboratorium penelitian?!”
Mikado ingat Kisa membicarakan penelitian yang terjadi di pulau ini.
“Ini laboratorium yang sepi, tetapi bisa digunakan untuk tempat berlindung ... meja operasi bisa digunakan untuk tidur dan ruang budidaya klon bisa digunakan untuk mandi ....”
“Itu terdengar tidak terlalu nyaman!”
“Tenang saja ... ada insinerator yang dapat menghilangkan bukti mayat ....”
“Aku bahkan semakin khawatir sekarang!”
Berdiri di depan bangunan, Mikado dengan panik membuka pintunya, tetapi tidak berhasil.
“Di mana kuncinya?!”
“Penanggung jawab fasilitas ini yang memegangnya ....”
“Di mana mereka?!”
“Mereka semua menghilang ... bahkan keluarga mereka ....”
“Seberapa suram yang terjadi di sini?!”
Mikado menendang jendela kaca terdekat dengan sekuat tenaga. Mungkin karena bangunannya sudah terlalu tua, kacanya mudah hancur dan Mikado melompat ke dalam. Detik itu juga, sebuah sirine mulai berdering.
”Penyusup! Penyusup! Mempersiapkan penangkapan! Jaminan keamanan semua penghuni! Sampai semua bahaya teratasi, lindungi diri sendiri menggunakan segala cara!”
Suara penyiaran terdengar, saat lampu merah berkelap-kelip di segala arah. Mikado jatuh ke depan, berlutut.

*****
“Kejang dan demam tinggi, ditambah dengan infeksi virus ringan. Dengan antibiotik yang tepat dan istirahat selama seminggu, Anda akan segera normal. Jadi, tolong jangan memaksakan diri Anda lebih dari yang diperlukan ....”
Meninggalkan kata-kata itu, Dokter melangkah ke luar. Ini adalah rumah sakit di pulau utama, kamar yang diperuntukan untuk orang-orang istimewa. Rumah sakit yang biasa digunakan oleh selebritis, tetapi manajemennya di pimpin oleh keluarga Nanjou. Dengan kata lain, kamar yang satu ini lebih istimewa, bukan kamar rumah sakit biasa. Kisa berbaring di kasur. Tangannya yang ramping diimpus, rambut serta kulitnya juga sudah dibersihkan dengan benar oleh perawat. Warnanya sudah kembali dibandingkan saat di pulau, tetapi kondisinya masih lemah. Di sampingnya adalah Mikado, mengawasi Kisa, serta kapten pasukan pertahanan pribadi keluarga Nanjou. Dia adalah wanita yang bergaya perempuan dan sangat menawan, tetapi matanya sangat tajam.
“Tidak menyangkan bocah nakal dari keluarga Shitkado akan menyelamatkan Kisa-sama seperti ini. Apa kau sadar dengan meninggalkan Kisa-sama mati akan membawa kehancuran ke keluarga Nanjou?”
“ ... Seolah aku akan melakukannya. Aku tidak akan membiarkan Kisa mati,” Mikado membalas dengan ada berat.
Berada di sarang musuh, belum lagi individu berbahaya dari orang di sampingnya, yang siap membunuhnya kapan saja, tidak bisa menurunkan pertahanannya sedikit pun.
“Hmmm ... begitukah ...?” sang kapten mengangkat bahu, setelah menatap Mikado dengan tajam. “Baik kau dan Kisa-sama telah mengambil jalan yang jelek dan berbahaya. Yah, aku merasa seperti sampah yang membentur kipas, jadi cobalah yang terbaik, kurasa.”
Memberikan selamat tinggal yang kurang sopan dan berlidah tajam. Wanita itu melangkah keluar. Suara pintu yang terkunci secara otomatis terdengar dan langkah kakinya yang semakin jauh. Setelah mereka hanya berdua, Kisa dengan lemah berbicara.
“ ... Terima kasih, Kitamikado-san. Aku pasti akan membayar hutang ini.”
“Aku tidak mengharapkan sesuatu seperti itu. Lagipula aku menikmatinya dengan caraku sediri,” Mikado memaksakan senyumnya, mengenang semua perjuangan yang telah ia lalui dan pemulihannya yang masih belum sempurna.
Mikado tidak ingin membuat Kisa khawatir lebih dari yang diperlukan dan menunjukkan kelelahannya sendiri membuatnya tampak tidak keren, jadi dia memainkan pria jujur sekarang. Mendengar balasan Mikado, Kisa mengambil napas dalam-dalam dan berbicara lagi.
“Aku baik-baik saja sekarang. Kamu masih bisa sampai di acara pertunanganmu sekarang ... pergilah.”
“Y-ya.”
Mikado memeriksa waktu di ponselnya. Jika dia naik kereta terakhir, dia hampir tidak akan datang tepat waktu di acara pertunangan. Meskipun dia juga tidak yakin bagaimana menjelaskan dirinya yang menghilang tiba-tiba dan keterlambatannya ke keluarganya sendiri, juga keluarga Shizukawa, tugasnya untuk hadir adalah yang terpenting. Meski begitu ... Mikado ragu-ragu. Sesuatu di dalam diri Mikado menghentikannya untuk meninggalkan Kisa yang lemah sendirian. Setelah semua yang terjadi, dia sepenuhnya menyadari bahwa Kisa sama seperti gadis lain yang bisa kau temukan di mana-mana.
“Kalau begitu ... sampai jumpa lagi di sekolah.”
Merasa ragu, Mikado memaksakan punggungnya ke kasur, hendak meninggalkan kamar. Tiba-tiba, dia merasakan sesuatu yang menarik pakaiannya. Berbalik, Kisa menjulurkan lengannya dari tempat tidur, mencengkeram pakaian Mikado dengan erat. Matanya berair, saat dia menatap Mikado.


“Jadi kamu tidak ingin aku pergi?”
Saat Mikado bertanya perlahan, Kisa menggelengkan kepalanya. Namun, tangannya tidak menunjukkan tanda-tanda membiarkan Mikado pergi. Seperti anak anjing kecil, yang hendak ditinggalkan, dia mengerutkan bibirnya saat dia cemberut pada Mikado. Melihat ekspresi itu dan seruan tanpa kata-katanya, tidak ada orang yang bisa pergi. Bagaimana dia bisa meninggalkan gadis yang dia cintai, ketika dia menunjukkan kepadanya ekspresi sedih?
” ... Baiklah, aku akan di sini. Sampai kamu kembali sehat.”
“Apa itu ... baik-baik saja ...?” Kisa bertanya dengan hati-hati.
“Yah ... aku harus menyelesaikan apa yang aku mulai dan menjagamu.”
Mikado dengan hati-hati mengambil tangan Kisa dari bajunya dan meletakkannya di atas selimut, lalu meraih kursi di kursi di sebelah tempat tidur. Keheningan yang tenang pun terjadi. Hanya suara AC saja yang terdengar lembut di dalam ruangan. Meskipun ini bukan pulau terpencil, tidak ada yang akan mengganggu mereka di sini. Tidak ada tanda-tanda perang keluarga yang biasa menjangkiti mereka.
“Terima kasih ... Mikado.”
Menyembunyikan setengah wajahnya yang memerah menggunakan selimut, kisa bergumam dengan malu.
“ ... Tidak usah dipikirkan.”
Mikado juga merasakan hal yang sama, saat dia mengalihkan pandangannya untuk menatap pemandangan di luar jendela.

Post a Comment